Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim menentang keras
pemberlakuan hukuman mati bagi terpidana korupsi. Meski hukuman mati
bagi koruptor tak melanggar Undang-Undang, kata Ifdhal, namun hukuman
seperti itu itu jelas melanggar hak hidup seseorang.
"Kita adalah
negara demokrasi. Dan salah satu ukuran negara demokrasi adalah semakin
dekat dengan hak asasi manusia. Seharusnya menjadi negara yang pro-life," kata Ifdhal kepada VIVAnews.
Selain
itu, lanjutnya, hukuman mati tidak akan efektif untuk mengurangi jumlah
koruptor yang semakin merajalela. Tingginya perbuatan korupsi, tidak
ada korelasinya dengan hukuman mati.
Bila tujuannya untuk membuat
koruptor jera, pemerintah sebenarnya bisa melakukannya dengan cara
lain. Misalnya saja pemiskinan terpidana korupsi, atau dikucilkan dari
lingkungannya. "Itu lebih efektif daripada hukuman mati," ucapnya.
Ifdhal
menegaskan bahwa seharusnya pemerintah segera merevisi Undang-Undang
yang memungkinkan adanya hukuman mati karena setiap orang, memiliki hak
untuk hidup. "Seharusnya kita pelan-pelan menghapus hukuman mati, paling
tidak 5-10 tahun ke depan hukuman mati sudah tidak ada," katanya.
Jangankan terpidana kasus korupsi, penjahat perang pun, katanya, memiliki hak untuk hidup.
Sebagaimana
diketahui bahwa dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, hukuman mati diatur dalam 2 pasal, yakni Pasal 2 ayat (2).
Pasal itu berbunyi 'Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang
diatur dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati
dapat dijatuhkan.
Dalam penjelasan pasal itu disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan keadaan tertentu itu adalah keadaan yang dapat
dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi
yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan
krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
0 komentar:
Posting Komentar