Selasa, 18 September 2012

Arti Sebuah Toilet di India: Martabat Si Miskin

Kala fajar menyingsing, penduduk sebuah kawasan kumuh di New Delhi ke luar rumah, menuju rel kereta api, untuk melakukan sesuatu yang biasanya hanya dilakukan di tempat paling privat: buang hajat.

Satu demi satu, mereka datang dengan menenteng botol berisi air. Beberapa mencoba untuk bersembunyi, lainnya cuek. Gemuruh kereta api yang mendekat, klakson yang dibunyikan, memperingatkan mereka yang berjongkok massal menyingkir.

Itu rutinitas yang dilakoni Mukesh setiap hari, selama 40 tahun hidupnya. "Tentu saja aku malu, tapi apa lagi yang bisa kulakukan?," kata pemilik toko kecil itu, menyeringai malu.

Sistem kereta api India, yang membawa 11 juta penumpang setiap harinya adalah kehidupan di negara itu, dalam arti sesungguhnya.

Namun, seorang pejabat pemerintah menyebutnya sesuatu yang lain. Sebuah perumpamaan yang jujur. "Rel kereta api di India adalah toilet terbuka terbesar di dunia," kata Jairam Ramesh, Menteri Pembangunan Pedesaan, pada peluncuran bio-toilet baru-baru ini. "Hampir 60 persen orang yang buang hajat di tempat terbuka ada di India. Kita seharusnya malu dengan ini."

Kalaiselvi, adalah salah satu yang malu dengan kondisi ini. Demi mengejar hidup yang lebih baik, perempuan 24 tahun itu meninggalkan desanya di selatan India dan pindah ke New Delhi. Ia tak menyangka, buang hajat saja jadi perjuangan berat di ibukota.

"Tak ada toilet di sini," kata dia. "Aku sangat malu, pria dan wanita saling berdekatan, ini kondisi yang sungguh sulit.

Setiap harinya, Kalaiselvi berusaha menahan perutnya yang melilit. Ia hanya pergi ke rel pukul 04.00 pagi, sebelum matahari terbit, atau setelah mentari tenggelam pukul 18.00.

Padahal, tempat hidup Mukesh dan Kalaiselvi, sebuah pemukiman padat yang dihuni 3.000 orang, hanya beberapa menit dari Commonwealth Games Stadium yang megah dan deretan hotel bintang lima yang menjulang angkuh. Sebuah ironi di India, dan banyak negara berkembang lain di dunia.

Menenteng ponsel, tak punya toilet
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), tempat terbuka menjadi toilet bagi sekitar 625 juta penduduk dunia. Sementara sensus pemerintah terbaru menunjukkan, setengah dari rumah tangga di India tidak punya toilet, tapi kebanyakan orang memiliki telepon genggam. Sebanyak 53.2% penduduk India punya ponsel, berbanding 46.9% yang punya akses ke toilet layak.

Kalaiselvi mengaku tak bisa membangun toilet, bahkan jika ia bisa. Sebab, tak ada drainase limbah di area tempat tinggalnya.

"Dari 7.935 kota di India, hanya 162 memiliki fasilitas pengolahan limbah," kata Bindeshwar Pathak, pendiri Sulabh International - sebuah LSM yang bekerja untuk menyediakan toilet ramah lingkungan berbiaya rendah untuk kaum miskin India selama lebih dari 40 tahun.

Kini, Pathak punya inovasi dan solusi sederhana yang bisa membantu transformasi kehidupan jutaan orang India. Namanya, Sulabh Shauchalya atau toilet Sulabh, yang berbasis pada dua lubang, untuk satu jamban. Satu lubang untuk menampung kotoran, lainnya untuk komposting. Lubang tidak memakai beton agar tanah alami mengubah kotoran menjadi pupuk.

Biaya pembuatannya relatif murah, sekitar US$15 atau kurang dari Rp150.000. Hanya perlu seliter air untuk menyiramnya, sementara jamban biasa perlu 7-10 liter air.

Sulabh International telah membangun setidaknya 1,2 juta jamban rumah tangga dan 8.000 toilet umum di seluruh India. Pathak mengatakan, pemerintah India telah membuat 50 juta toilet dengan konsep dua lubang itu. Teknologi yang sama juga diterapkan untuk 14 negara-negara lain di Afrika.

Sementara di sebuah desa di Mewat, distrik Haryana, hanya 100 kilometer dari New Delhi, Sulabh telah membangun toilet dua lubang untuk setiap rumah tangga. "Sebelumnya kami pergi ke hutan untuk buang hajat dan terbiasa jadi santapan nyamuk dan lalat, lalu jatuh sakit. Sejak ada toilet, semuanya berubah, desa lebih bersih dan lebih baik," kata Shakuntala, salah satu warga.

Ini yang membuat warga desa luar biasa bangga. Mereka menjaga toilet di rumah mereka bersih dan merasa hidup jauh lebih maju. "Telepon genggam memang berguna, tapi punya toilet membuatku lebih bermartabat, aku memang hanya punya satu ponsel, tapi toiletku ada dua," kata Shakuntala, bangga. (sj)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting